bookmark at folkd Cerpen: Menunggumu di EIS Coffe Cafe Pontianak - Ningspara

Breaking

Informasi, resensi, review buku-buku dan Produk Lainnya & Tempat membaca cerpen

Pages

Sunday, March 25, 2018

Cerpen: Menunggumu di EIS Coffe Cafe Pontianak

Cerpen: Menunggumu di EIS Coffe cafe. Hari Rabu minggu pertama di bulan Februari adalah pertama kalinya aku datang ke EIS Coffe Cafe Pontianak ini. Alamatnya di Jalan Sulawesi. Gang Keluarga No.15 (Belakang Aneka Paviliun) Pontianak. Sementara kau, sudah tidak terhitung. Melakukan semua hal yang kau bisa lakukan di sini dan tentunya hal-hal itu kau suka. Entah itu minum kopi, internetan untuk mengoptimasi web-web yang kau punya, atau menulis. Kau bilang tempat ini asik karena jauh dari keributan lalu lalang kendaraan jalan raya.

Cerpen: Menunggu di EIS Coffe Cafe Pontianak oleh Nings S Lumbantoruan
Kopi EIS 60 ml. Jalan Sulawesi. Gang Keluarga No.15 (Belakang Aneka Paviliun)

"Aku suka di sini. Tidak ada AC. Kalau ada AC, asap kopinya menjadi tidak sempurna."
"Aku tak tahu kalau ada asap yang sempurna. Setahuku, hanya rokok saja yang sempurna."
Kau tertawa. Aku ingat kalau membuatmu tertawa menjadi cita-citaku kemudian. 

Sejak itu kita menjadi dekat. Sejak kau berhasil tertawa. Dan sialnya, kita ternyata punya banyak kesamaan. Ya, salah satunya kesamaan membaca buku. "Lain kali kita lomba baca. Buku yang sama. Start dari halaman satu."
"Kalau komik, kau pasti menang. Aku susah mengerti komik."
"Ya, jangan komik. Komik itu bukan buku sejati. Seperti waria."
"Hus. Jangan bicara begitu. Jangan jadikan waria sebagai bahan ejekan."
"Oke. Oke. Jadi gimana? Kita tentukan buku apa yang kita baca. Kita cari di perpustakaan."

Minggu depannya kami pergi ke perpustakaan. Berdua. Mencari buku yang sama. Aku menunjuk sebuah cerpen karangan Eka Kurniawan. Judulnya Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi. Dia menggeleng. 
"Ah," katanya. "Aku sudah membaca itu. Bagaimana kalau yang ini?" Dia menunjukkan Magi Perempuan dan Malam Kunang-Kunang. Cerpen karya Guntur Alam.
"Aku sudah membaca itu. Ada cerita tentang anak laki-laki yang disodomi. Aku sedih membacanya."
"Ya, aku juga sedih."
"Berarti sudah kau baca?"
"Ya. Tadinya aku mau curang." Dia tertawa. Aku memukulnya dengan buku karena kesal. Cukup kuat, jadi dia meringis sedikit. Aku merasa menang. Setidaknya skor 1-1.
Akhirnya kami mengambil cerpen Hamsad Rangkuti yang judulnya Bibir Dalam Pispot. Kami pergi lagi ke EIS Coffe Cafe, memesan kopi Turki (Bukan kopi yang berasal dari Turki, tetapi cara penyajian kopinya menggunakan penyajian kopi ala Turki, dipanaskan dengan perantaraan media pasir). Setelah memesan kopi, lalu kami membaca. Aku lupa berapa lama kami membaca buku itu. Tetapi pertama sekali aku kalah. Dia lebih dulu selesai 15 menit. Skor 1 untuk dia dan 0 untukku. Karena aku kalah, jadi aku yang harus menceritakan pendapat tentang buku itu.  

Begitu seterusnya. Awalnya buku yang tipis-tipis. Halamannya tidak terlalu banyak. Hingga yang dibaca lebih dari 3 jam. Makin sering kami melakukan tantangan baca di EIS Coffe Cafe, makin berat pula bahan bacaannya. Kopi yang dibutuhkan juga tidak lagi hanya 1 gelas. Tetapi kami mencobai semua varian rasa. Kopi EIS, Kopi yang terbuat dari gabungan tiga kopi. Yaitu Kopi Aceh, Toraja dan Mandheling. Buku yang kami baca, saking tebalnya, harus dibawa pulang dan kami berjanji tidak akan membaca sampai nanti kami bertemu lagi di EIS Coffe Cafe.  
*
Cerpen: Menunggu di EIS Coffe Cafe Pontianak oleh Nings S Lumbantoruan. Membaca Buku di EIS Coffe Cafe
EIS COffe Cafe: Jalan Sulawesi. Gang Keluarga No.15 (Belakang Aneka Paviliun)

Tetapi semua itu adalah cerita lama. Aku tak tahu lagi mengapa aku masih datang ke EIS Coffe Cafe ini. Bukan untuk mengadakan tantangan baca dengan dia. Aku dan dia telah lama tidak bertemu. Kami bertengkar sekali waktu. Ya, kau tahu lah. Pertengkaran-pertengkaran yang tidak jelas sepasang anak manusia. Ponselnya tidak aktif. Setiap hari itu juga aku pergi ke EIS Coffe Cafe dan perpustakaan. Selain ke dua tempat itu, aku tak tahu mau mencarinya kemana. Dia pernah bilang kalau atap rumahnya adalah langit dan tempat tidurnya adalah tanah merah. Aku tidak paham maksudnya, tetapi waktu itu aku tertawa. Kupikir kalimat itu lucu. Sekarang aku tahu kalau kalimat itu menyedihkan karena aku tak paham maksudnya.

Kupandangi jam tanganku seolah-olah menunggu seseorang yang dengannya aku sudah berjanji. Entah kenapa aku yakin dia akan muncul hari ini. Benar saja, setelah dua jam aku duduk, dia muncul. Dia tampak lebih kurus dari biasanya atau aku yang terlalu kuatir? Dia melihatku, tetapi tidak menyapa. Dia duduk membelakangiku, jadi aku memandangi punggungnya saja. Memandangi seseorang dari belakang memang cara teraman. Agar dia tidak melihat wajah kita yang berseri-seri bertemu dia atau mata yang berlinang-linang. Kopi 60 ml yang dia pesan tidak kunjung dia minum. Mungkin dalam hati dia mengagumi asap kopi itu.

Aku sering menunggu. Menunggu dia muncul di EIS Coffe Cafe dan sekarang menunggu punggung itu berubah arah dan melihat sebuah senyuman. Sudah berapa skor yang kukumpulkan? Kalau  kesabaran menunggu adalah berarti 1, dan yang ditunggu mendapatkan skor 0, berarti aku memang banyak. Tetapi jika sebaliknya, aku kalah telak. Kuminum lagi kopiku, entah sampai kapan kau membelakangiku.
Cerpen: Menunggu di EIS Coffe Cafe Pontianak
Orang-orang berlalu lalang di EIS Coffe Cafe. Kita duduk saja, memperhatikan mereka. Jalan Sulawesi. Gang Keluarga No.15 (Belakang Aneka Paviliun)


2 comments:

  1. Mantap artikelnye wkwkwkwkw.... Apang kire apelah mantap ancor e jadi cerpen pulak wkwkwkwkw

    ReplyDelete