bookmark at folkd Cerpen: Ibu, Wifi dan Surga - Ningspara

Breaking

Informasi, resensi, review buku-buku dan Produk Lainnya & Tempat membaca cerpen

Pages

Thursday, April 5, 2018

Cerpen: Ibu, Wifi dan Surga

Cerpen: Ibu, Wifi dan Surga. "Aku dan ibuku sangat berbeda. Kalau di telapak kaki ibuku ada surga, di telapak kakiku ada wifi." Perkataan ini kemudian didengar ibu yang sedang memasak sarapan di dapur. Dengan sengaja, ibu lalu mengiris tangannya dan menangis. Air matanya sedikit sekali, tetapi kutahu kalau ibu sedang kesakitan besar. Ibu meringis. Waktu kami mendatangi ibu, ibu bilang matanya perih kena bawang. Walau sudah kami lihat tangan ibu berdarah-darah, Ibu tetap tidak mau mengakui. 
Bahkan sampai sekarang pun, kalau kami bertanya tentang tentang kejadian itu, ibu tidak pernah mengaku. Seolah-olah tangan ibu yang teriris itu adalah hantu yang tidak tampak oleh kami yang tidak punya indra ke-6. 

Cerpen: Ibu, Wifi dan Surga oleh Ningspara


Ini bukan pertama kalinya ibu berbuat begitu. Maksudku, berbuat hal-hal aneh yang tidak dia akui. Sebelum ini ibu juga pernah merobek-robek bajunya. Bukan baju sembarangan yang dia robek, tetapi baju kebaya yang bahan bakal kebayanya saja sudah lima ratus ribu rupiah. Belum lagi upah jahitnya, kain untuk rok dan selendang. Ah, mungkin baju itu seharaga dua juta. Mungkin. Atau lebih. Meskipun itu bukan kebaya termahal ibu -karena kebaya termahal ibu belum pernah dipakai sebelum abangku menikah, dan kebaya itu terbungkus rapi di lemarinya- tetap saja sayang rasanya kalau kebaya semahal itu dirusak. Bukan hanya mahal, kudengar-dengar kebaya semacam itu juga langka. Ah, sudah mahal, barang antik pula.
Ibuku adalah seorang pejuang diam.
Kalau kuingat-ingat dan kupelajari, sebenarnya aku bisa mengatakan kenapa semua ini terjadi. Walaupun kebenaran dari tafsiranku perlu analisa lebih lanjut sebab kebenarannya sangat tidak teruji. Ibuku adalah seorang pejuang diam. Diam-diam berjuang, diam-diam berdoa, diam-diam marah, diam-diam menghukum diri. 

Setiap kesalah apapun yang terjadi di manapun, kalau ibu merasa bahwa masalah itu ada kaitannya dengan dirinya, maka diam-diam ibu bereaksi. Reaksinya macam-macam. Ya, seperti telah kuceritakan tadi. Dari yang paling menyedihkan: merobek-robek kebaya, mengiris tangan. Sampai yang paling menyenangkan:  mengeritingkan rambut, mengadakan pesta. 

"Aku tidak pernah menuntut apa-apa. Aku hanya mengharapkan semuanya damai, tidak ada keributan, kalian jadi anak-anak baik, saling mengasihi, rajin beribadah, ingat selalu Tuhan dan jangan melanggar hukum-Nya, jangan masuk penjara, jangan main pukul, jangan hidup di dunia angan-angan." Itu adalah anjuran dan larangan-larangan ibu yang sering dia katakan apabila dia sedang menasehati kami. "Harapan ibu sangat sederhana," tambahnya.

Kami selalu diam kalau ibu berbicara. Ya, kalimat-kalimat itu memang cukup sederhana. Tetapi, ya, maksud dari kalimat itulah yang tidak sederhana. Dan seribu satu perasaan ibu, yang tertuang dalam tindakannya yang membuat kami bingung. 
Bukannya dosa dukun itu lebih banyak dari pada peramal?

"Kita ke dukun saja." Abangku yang paling besar memberi saran.
"Hah? Mau mengguna-gunai ibu?"
"Ih, ngawur. Bukanlah. Kita tanya dukun, kira-kira apa yang dipikirkan ibu. Kenapa ibu bisa begitu."
Aku diam. Dukun? Ibu pernah mengatakan kalau kita tidak boleh percaya kepada peramal-peramal. sebab Tuhan membencinya. Apalagi dukun. Bukannya dosa dukun itu lebih banyak dari pada peramal? Kalau ibu sampai tahu, dia pasti melukai dirinya sendiri makin hebat.
"Ah, jangan. Nanti ibu marah. Ibu melarang pergi ke dukun."
"Ah, kau ini. Sejak kapan kau jadi penurut ibu? Percuma kalau kau menuruti perintah dan nasehat ibu yang satu kalau perintah dan nasehat yang lain kau langgar."

Cerpen: Ibu, Wifi dan Surga oleh Ningspara

Aku diam. Abangku diam. Kami sama-sama berpikir. 
"Besok, wifi di rumah ini akan kucabut," kataku akhirnya.

2 comments: